Jakarta – Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress), Marwan Batubara, mengatakan pentingnya mengesampingkan masalah politik dan memprioritaskan kepentingan nasional demi berkembangnya National Oil Company (NOC) dan perusahaan energi dalam negeri. Komitmen negara untuk mengembangkan perusahaan dalam negeri secara konsisten diperlukan, sehingga Pertamina ke depannya bisa lebih bagus dan lepas landas.
Hal tersebut disampaikan Marwan di sela-sela hari pertama acara Pertamina Energy Outlook 2014, Senin, (16/12) di Ritz Carlton, Jakarta.
Karena itu, ia mengimbau perlu adanya kesadaran kolektif yang kuat di berbagai elemen masyarakat, mulai dari pemerintah parlemen, kampus-kampus, ormas dan tokoh masyarakat, tentang ketahanan energi kita. Hal senada juga disampaikan Direktur Hulu Pertamina Muhamad Husen saat membuka acara tersebut.
Menurut Husen, ketahanan energi merupakan faktor penentu keberlangsungan suatu bangsa. Karena itu, banyak negara mengembangkan sumber energi baru dan terbarukan agar tidak bergantung hanya pada minyak dan gas. Indonesia sendiri memiliki cadangan energi panas bumi yang terbesar di dunia. Namun, untuk mendorong produksi dan penggunaan panas bumi dibutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah.
“Lima sampai 10 tahun ke depan, kita tidak memiliki lagi produksi minyak yang besar. Sementara panas bumi kita ada sekitar tiga juta barel oil ekuivalen dan baru dimanfaatkan empat persen. Kami hanya butuh kebijakan untuk memproduksinya,” ujar Husen.
Pertamina tidak memiliki kesulitan dalam soal teknologi untuk mengeksplorasi panas bumi. Karenanya, Pertamina siap untuk mendukung perkembangan panas bumi. Namun, dari sisi bisnis, tanpa dukungan kebijakan akan sulit untuk melakukan hal itu. “Sebab panas bumi untungnya sedikit, masih lebih banyak migas. Karena itu, ini harus didukung oleh kebijakan,” tutur Husen.
Menurut Husen, Indonesia tidak bisa lagi hanya mengandalkan minyak bumi. Sebab, produksi minyak mentah terus mengalami penurunan. Di saat bersamaan, kebutuhan akan minyak meningkat pesat. Pertumbuhan industri, bertambahnya jumlah transportasi membuat kebutuhan minyak meningkat. Karena produksi dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, maka impor menjadi pilihan. “Saat ini impor sudah sangat memberatkan APBN. Apalagi dalam lima sampai 10 tahun mendatang. Apa APBN kita masih kuat?” tanya Husen.
Apalagi, masalah energi ini telah melahirkan banyak masalah dalam perekonomian nasional. Menurunnya cadangan devisa, defisit neraca perdagangan hingga melemahnya nilai tukar rupiah, tidak bisa dilepaskan dari impor minyak mentah yang terus meningkat. “Bank Mandiri, BRI, BNI paham betul berapa besarnya kebutuhan dolar Amerika setiap hari untuk membeli minyak. Ini terus meningkat. Karena itu, harus segera diatasi,” tegasnya.
Fakta ini disadari oleh berbagai negara. Hal itulah yang membuat terjadi perkembangan dalam sektor energi, terutama pada unconventional gas. Amerika yang selama ini tidak pernah memublikasikan cadangan gas alamnya, kini mampu menghasilkan produksi gas alam terbesar di dunia, sehingga berhasil menurunkan harga gas. Dengan bantuan teknologi, Kanada juga mampu memiliki cadangan dan produksi shale gas yang cukup signifikan. “Ini membuat konstelasi migas di dunia berubah. Indonesia juga harus bergerak cepat,” papar Husen.
Sejumlah pembicara terkemuka menjadi narasumber dalam acara yang untuk pertama kalinya digelar Pertamina ini. Direktur Eksekutif Irak Energy Institute, Luay Al Khatteeb, Exploration Manager Statoil Indonesia, Christian Zwach, Pengamat Energi Darmawan Prasodjo dan Wakil Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menjadi pembicara pada hari pertama.
Sedangkan pada hari kedua, diisi paparan dari Presiden FACTS Global Energy, Jeff Brown, Senior Energy Analis di Badan Energi Internasional Shigetoshi Ikeyama, anggota Dewan Energi Nasional Herman Agustiawan, Senior Vice President Gas Engineering and Operation Management, Direktorat Gas Pertamina Salis S. Aprilian, dan akademisi Rhenald Kasali.•SAHRUL