CILACAP – RFCC Cilacap yang saat ini memasuki masa uji coba operasi, telah menghasilkan produk perdananya pada awal Oktober 2015. Salah satu produk yang dihasilkan yakni Premium, dengan produksi 30.000 barel per hari. Tambahan produksi tersebut menjadi bagian dari upaya perusahaan dalam mengurangi impor Premium yang nantinya juga akan mendapatkan kontribusi dari Kilang TPPI Tuban sebesar 61.000 barel per hari.
Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan konsumsi Premium nasional berada di kisaran 29,5 juta KL di mana sekitar 17,1 juta KL per tahun atau 9 juta barel per bulan diperoleh dari impor. Karena itu, Pertamina terus melakukan langkah-langkah terobosan guna mengurangi impor Premium, di antaranya yang dapat terealisasi yanki RFCC Cilacap dan dalam waktu dekat Kilang TPPI Tuban.
Wianda mengungkapkan RFCC Cilacap sudah memasuki tahapan akhir commissioning. RFCC Cilacap, katanya, siap beroperasi komersial paling lambat pada pekan kedua Oktober 2015.
“Berdasarkan pengecekan terakhir, RFCC Cilacap sudah siap 100% beroperasi komersial dan diharapkan pada pekan kedua Oktober proyek tersebut akan diresmikan pengoperasiannya. Dengan beroperasinya RFCC Cilacap tersebut impor Premium akan berkurang sekitar 30.000 barel per hari atau 10,95 juta barel per tahun yang setara dengan 10% impor,” tuturnya.
Untuk Kilang TPPI Tuban, lanjut Wianda, Pertamina sesuai dengan arahan pemerintah akan memulai start up Kilang TPPI pada akhir September ini. Selanjutnya, perusahaan menargetkan pengoperasian secara komersial dapat dilakukan dalam rentang waktu segera setelah RFCC Cilacap beroperasi dengan kapasitas produksi Premium pada tahap awal sekitar 20.000 barel per hari. Kilang TPPI Tuban dalam kapasitas optimalnya dapat menghasilkan Premium sekitar 61.000 barel per hari atau sekitar 22,27 juta barel per tahun. Jumlah tersebut setara dengan sekitar 20% impor Premium selama ini.
“Dengan beroperasinya dua unit tersebut, total potensi pengurangan impor Premium Pertamina mencapai 91.000 barel per hari atau sekitar 33,21 juta barel per tahun. Dengan asumsi harga indeks pasar gasoline sekitar US$60 per barel, artinya nilai pengurangan impornya mencapai US$1,99 miliar dalam setahun,” ungkap Wianda.•RA/DSU